Implikasi Bagi Guru
Apabila kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan
pekerjaan guru maka filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang
mutlak. Artinya, sebagai pekerja professional, tidaklah cukup bila seorang guru
hanya menguasai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kedua
penguasaan ini baru tercermin pada kompetensi seorang tukang. Disamping
penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus
menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan
cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan
mengapa itu menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan
tugasnya, yang pada gilirannya harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan
pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun
tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena itu maka semua keputusan serta
perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka penunaian
tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan harus selalu dapat
dipertanggungjawabkan secara pendidikan (tugas professional, pemanusiaan dan
civic) yang dengan sendirinya melihatnya dalam perspektif yang lebih luas dari
pada sekedar pencapaian tujuan-tujuan instruksional khusus. Perlu digarisbawahi
di sini adalah tidak dikacaukannya antara bentuk dan hakekat. Segala ketentuan
prasarana dan sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan
mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu maka gerakan
ini hanya berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan transaksi
personal antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan
subjek didik yang lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya
masih belum dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak
terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan
kepada kedaulatan subjek didikakan melahirkan anarki, sedangkan pemberian bobot
yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan
penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan
pembudayaan manusia.
Implikasi bagi
Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan
Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia
kita belum punya teori tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini
tidak mengherankan karena kita masih belum saja menyempatkan diri untuk
menyusunnya. Bahkan salahsatu prasaratnya yaitu teori tentang pendidikan
sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita masih belum
berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi kegiatan pembaharuan
pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan luarnya bukan
bangunan dasarnya. Hal tersebut dikemukakan tanpa samasekali didasari oleh
anggapan bahwa belum ada diantara kita yang memikirkan masalah pendidikan
guru itu. Pikiran-pikiran yang dimaksud memang ada diketengahkan orang tetapi
praktis tanpa kecuali dapat dinyatakan sebagi bersifat fragmentaris, tidak
menyeluruh. Misalnya, ada yang menyarankan masa belajar yang panjang (atau,
lebih cepat, menolak program-program pendidikan guru yang lebih pendek terutama
yang diperkenalkan didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang menyarankan
perlunya ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada
yang menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula
yang memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga
bisa bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua
saran-saran tersebut diatas memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara
partial, akan tetapi apabila di implementasikan, sebagian atau seluruhnya,
belum tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan guru dan tenaga kependidikan
yang efektif. Sebaiknya teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang
produktif adalah yang memberi rambu-rambu yang memadai didalam merancang serta
mengimplementasikan program pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang
lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan didalam konteks pendidikan
(tugas professional, kemanusiaan dan civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun
dengan mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu:
pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis
tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat. Rambu-rambu yang
dimaksud yang mencerminkan hasil telaah interpretif, normative dan kritis itu,
seperti telah diutarakan didalam bagian uraian dimuka, dirumuskan kedalam
perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi
perancang serta implementasi program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat
rambu-rambu yang dimaksud merupakan batu ujian didalam menilai perancang dan
implementasi program, maupun didalam “mempertahankan” program dari
penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari serangan-serangan konseptual
(Fadli, 2010).
Sumber:
PTS Online. 2007. Pentingnya Landasan Filsafat
Ilmu Pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar