Sabtu, 10 Desember 2016

Pedagogik Kritis Relevan Bagi Pendidikan di Indonesia

Secara bahasa pedagogi berasal dari bahasa yunani kuno terdiri dari dua kata yaitu Pais yang berarti anak (child) dan Agi yang berarti memimpin (lead), jadi pedagogi berarti lead the child atau memimpin anak. Dalam perkembangannya pedagogi sering dimaknai sebagai pendidikan/ilmu mendidik (ilmu mendidik anak yang belum dewasa), sedangkan mendidik/ilmu mendidik orang dewasa disebut andragogi. Meskipun demikian penggunaan istilah pedagogi sering dimaksudkan sebagai pendidikan dalam arti umum/luas (Education) tanpa membedakan tingkatan usia kematangan seseorang.

Pedagogi kritis (critical pedagogy) merupakan pendekatan pembelajaran yang berupaya membantu murid mempertanyakan dan menantang dominasi serta keyakinan dan praktek-praktek yang mendominasi (wikipedia). Pedagogi kritis (critical pedagogy) dapat dimaknai sebagai pendidikan kritis yaitu pendidikan yang selalu mempertanyakan mengkritisi pendidikan itu sendiri dalam hal-hal fundamental tentang pendidikan baik dalam tataran filosofis, teori, sistem, kebijakan maupun implementasi implementasi.

Pedagogi kritis mempunyai akar/dimensi ideologi politik dalam konteks perjuangan sosial/tranformasi kondisi sosial politik dari kekuasaan yang opresif untuk mencapai tatanan sosial politik yang adil dan egaliter, dimensi filosofis berkaitan dengan makna dan tujuan pendidikan terkait dengan pendidikan sebagai praktek pembebasan dan dimensi praktis pemberdayaan manusia/individu/peserta didik melalui konsep Conscientization (pewujudan kesadaran kritis/the coming to critical consciousness). konsentisasi akan membawa pada pendidikan yang membebaskan yang berfokus pada pengembangan kesadaran kritis melalui pemahaman hubungan antara masalah individu dan pengalaman dengan konteks sosial dimana individu itu berada, untuk itu langkah praxis penting untuk dilakukan sebagai pendekatan reflektif atas tindakan yang melibatkan siklus teori, aplikasi, evaluasi, refleksi dan kemudian kembali lagi pada teori. Siklus tersebut akan mendorong kesadaran kritis manusia akan diri dan lingkungannya.

Dalam tataran praktek pendidikan/pembelajaran terdapat beberapa konsep penting yang menjadi bagian dari pedagogi kritis antara lain Constructivisme, Banking concept of edecation, Problem posing education, Dialogical method. Meskipun Konsep-konsep tersebut terkait dengan seluruh dimensi dari pedagogi kritis, namun dalam implementasinya dapat terjadi meskipun mengacu pada kepentingan praktis pragmatis tanpa mengaitkannya dengan dimensi ideologi politis, sehingga pelaksanaan tersebut dapat dipandang sebagai bagian yang menyerap pedagogi kritis, baik karena kesadaran ideologis, maupun kesadaran akan pentingnya hal tersebut dalam meningkatkan mutu pendidikan guna mempu dalam menghadapi tantangan perubahan yang cepat.

Ada beberapa masalah utama pendidikan kita saat ini yang perlu dicermati, yaitu rendahnya kualitas SDM pendidikan dan sistem pendidikan yang kita pakai. Banyaknya pelajar Indonesia masih belajar dalam taraf menghafal saja. Dimana hanya berbekal hafalan tidak membuat tambahnya suatu kecerdasan maupun tambahnya kedewasaan seseorang.Untuk mengatasi masalah itu, perlu usaha keras dari pelajar, pangajar, dan pemerintah sebagai pemegang berwenang dan mengelola dana. Bagaimana agar pelajar dapat mengembangkan potensi yang dimiliki para anak didik melalui kendali dan kontrol dari guru. Sedangkan pemerintah sebagai penyedia sarana dan prasarana ada upaya agar tercukupi. Dengan buruknya sarana dan prasarana pendidikan dan kurikulum yang kurang efektif. Semua itu berasal dari hal yang terpisah-pisah, yaitu sistem pendidikan dan taraf kemampuan SDM pendidikan.Untuk meningkatkan alokasi dana pendidikan yang memadai dengan meletakkan pembangunan pendidikan sebagai perioritas pertama.

Prof. Mochtar Buchori dalam tulisannya “Memuliakan kehidupan bangsa” (2010), memberikan ajakan utuk mengedepankan masalah bangsa sebagai salah satu tujuan pendidikan. Hasil refleksi mendalam tentang carut-marut masalah yang sedang menimpa bangsa Indonesia tersebut dari masalah korupsi, makelar kasus, kesewenang-wenangan dimulai dengan alenia berikut ini:

“Menurut sebuah aliran pedagogik, mendidik adalah upaya membimbing peserta didik untuk dapat menjalani dan memahami kehidupan. Dalam kerangka ini, ada tiga tujuan yang harus dicapai para anak didik: kemampuan untuk dapat menghidupi diri sendiri, kemampuan untuk dapat hidup secara bermakna, dan kemampuan untuk dapat turut memuliakan kehidupan.”

Aliran pedagogik yang dimaksud tidak lain adalah aliran pedagogik kritis. Karenanya dapat disimpulkan bahwa pedagogik kritis secara umum menjawab relevansi pendidikan bagi berbagai permasalahan masyarakat dunia, terutama dalam upayanya untuk menggugat keadilan sosial bagi masyarakat yng tersingkirkan oleh sistem. 

Kedua, data statiska berikut ini memperkuat alasan mengapa pedagogik kitis sangat relevan bagi Indonesia. Sekitar 40 juta, atau 17,75% dari total penduduk Indonesiaberada di bawah garis kemiskinan; dan sekitar 100 juta, atau 42% dari total penduduk Indonesia berada pada atau di bawah garis kemiskinan. Hanya 55% dari siswa-siswi yang berasal dari keluarga tidak mampu menyelesaikan pendidikan menengah pertama. Sementara dari 28 juta penduduk Indonesia berusia 19-24 tahun, hanya 17,2% yang mengenyam pendidikan tinggi, dengan hanya 3,3% di antara mereka berasal dari keluarga tidak mampu. Data statistik ini dengan gamblang memaparkan bahwa siswa-siswi yang berasal dari keluarga tidak mampu yang melanjutkan ke pendidikan tinggi jumlahnya sangat tidak proporsional dengan presentase jumlah penduduk miskin di Indonesia. Ini adalah sebagai satu dari terlalu sedikit pedagogik secara langsung menggugat keterkaitan antar pendidikan dan keadilan sosial pedagogik kritis merupakan pilihan pedagogik yang relevan bagi Indonesia.

Ketiga, perjalanan sejarah pendidikan formal di Indonesia merupakan gambaran pendidikan yang digunakan secara struktural untuk mengkondisikan generasi demi generasi yang tidak lebih berdaya untuk menikmati kelangsungan hidup yang lebih baik generasi sebelumnya. Pada zaman penjajahan Belanda, pendidikan formal untuk masyarakat Indonesia ditujukan secara spesifik untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia dengan ketrampilan terbatas, sesuai dengan kepentingan pemerintah Belanda. Selain itu, sebagai bagian dari praktik penjajahan devide et impera, akses ke pendidikan dibedakan berdasarkan latar belakang sosial ekonomi (selain juga ras dan agama).

Pandangan itu ekuivokal dengan apa yang dikatakan Andre Gorz: 

“Mengatakan bahwa kontradisi mungkin tidak atau tak akandirasakan sangat berbeda denagn mengatakan bahwa kontradiksi itu tak akan bisa dipahami. Jika ada kontradiksi itu merasuk ke dalam level tertentu dalam alam pengalaman masa. Yang menjadi problem kemudian adalah bagaimana membuat yang tak merasa dipahami”.

Konsekuensinya, karena cuek pada realitas objektif, cita-cita “kebebasan”, dan “otonomi” yang digembar-gemborkan postmois tampak utopi. Tepatnya, mereka hanya gembar-gembor, tetapi tidak mau berbuat. Dikarenakan realitas kehidupan yang menjadi sumber dari ketidakbebasan dan penindasan itu pada dasarnya tertotalitaskan secara material dan penjelasannya juga harus universal dan cara mengubahnya juga membutuhkan suatu kekuatan yang bersifat menyatukan karena penindasan dapat bertahan jstru karena tidak terjadinya penyatuan sejati dalam kenyataan riilnya. Penindasan ditimbulkan oleh disharmoni suatu totalitas material.

Postmodernisme seakan tidak memahami pentingnya kedekatan manusia dengan dunianya, realitas dengan objektivitas dan totalitasnya. Padahal, hanya dengan hidup secara total dengan realitas, anak-anak didik akan mampu mempercepat pemahamannya akan berbagai persoalan yang ada di dunia. Semakin ia dekat dengan realitas, semakin objektif pandangannya terhadap suatu masalah yang berakar pada realitas, maka kian dewasalah cara berpikirnya. Filsuf Jerman, Goethe, pernah mengatakan, “Manusia mengetahui dirinya sebanyak pengetahuannya tentang dunia; manusia mengetahui dunia hanya dalam dirinya sendiri dan dia menyadari dirinya sendiri dalam dunia ini. Setiap objek yang benar-benar baru dikenal membuka sebuah organ baru dalam diri kita.”

Dengan melakukan gugatan terhadap cita-cita pedagogis dan mengenali lebih jauh suatu filsafat humanis yang membut manusia sadar akan realitasnya. Itulah tujuan proses pendidikan untuk pembebasan yang dicita-citakan Marx(isme). Konsep manusia Karl Marx, yang awalnya banyak dipengaruh Hegel, bertugas untuk “membedakan yang esensial dari proses realitas yang tampak, dan untuk menangkap hubungan antara keduanya”. Lebih jauh Hegel pernah mengatakan: 

“Dunia ini adalah dunia yang asing dan keliru jika manusia tidak menghancurkan objektivitas yang tumpul dan kehidupannya di balik bentuk dan benda-benda serta hukum-hukum yang tetap. Ketika manusia akhirnya memenangkan kesadaran diri ini, berarti dia sedang menuju bukan hanya pada kebenaran diri sendiri, melainkan juga pada kebenaran dunia. Dengan pengenalan ini, proses tersebut berjalan terus. Manusia akan menaruh kebenaran ini pada tindakannya, dan membuat dunia menjadi apa yang secara esensial merupakan pemenuhan kesadaran-dirinya”.

Berbeda dengan dialektika historis, filsfat postmoderni tidak hanya abstrak, tetapi ‘mbulet’, bermain pada wilayah ‘permainan bahasa’, dan tidak realistik. Paradoks dari filsafat bahasa ala postmodernis seperti Jacques Derrida, misalnya, disebabkan oleh filsafat bahasa yang anti-realistik yang menyangkal kemungkinan kita untuk mengetahui realitas yang independen dari diskursus denagn praktik-praktik sosial, entah praktik-praktik ini melestarikan ataupun menentang dominasai yang ada. Secara kontras pos-strukturalisme ‘duniawi’ ala Michel Foucault dan Deleuze memberikan ati penting yang sentral terhadap relasi ini. Keduanya mencoba mengkontekstualisasikan diskursus tersebut. Foucault mengatakan:

“Saya percaya bahwa titik rujukan orang itu bukanlah model agung bahasa dan tanda-tanda, namun model agung perang dan pertempuran. Sejarah yang mengusung dan membentuk diri kita lebih berbentuk perang ketimbang berbentuk bahasa: SEJARAH ADALAH RELASI-RELASI KUASA, BUKAN RELASI-RELASI MAKNA”.

Sementara Deleuze dan Guttari berpolemik menentang ‘imperalisme penanda’ (imperalism of the signifier) dan berusaha untuk mengembangkan teori bahasa yang pragmatik yang bermula dari karakter sosial yang paling mendasar dari ucapan (utterance). Sifat pragmatik ini sendiri telah termuat dalam gagasan Foucault mengenai ‘pengetahuan-kuasa’, “Tak ada relasi kuasa tanpa ada pembentukan sebuah medan pengetahuan yang berkolerasi dengannya dan juga saat yang bersamaan tak ada pengetahuan tanpa mengandaikan dan pada saat yang bersamaan membentuk relasi-relasi kuasa”.

Ini menunjukkan bahwa pertarungan kuasa yang paling nyata terjadi bukan pada aras bahasa atau makna, melainkan dalam wilayah yang lebih konkret dan nyata, yaitu ekonomi atau kekuatan-kekuatan produktif sebagaimana dipahami filsafat historis-dialektis.

Sebagian situasi dan masalah cenderung membutuhkan pemikiran bercabang dan sebagian yang lain membutuhkan pemikiran terpusat. Dan sebagian individu memiliki kecenderungan untuk memberikan solusi terpusat dan sebagian yang lain solusi bercabang terlepas dari masalah apapun yang sedang dihadapi. Mengingat intruksi lebih menghargai pemecahan masalah secara terpusat. Dalam sudut lain, kreatifitas sangat diperlukan kemampuannya untuk menghasilkan sebuah pokok pikiran yang akan membuat peserta didik dapat lebih berpikir kritis dalam menanggapi problematika yang terjadi di masa kini. Juga, pemikiran bercabang mampu menghasilkan solusi terbaik bagi anak-anak didik.

Pedagogik kritis sebenarnya adalah proses penyadaran terhadap diri dan masalah-masalah yang mempengaruhi keberadaan dan kondisi diri dalam masyarakat. Kata conscientizacao yang diperkenalkan oleh Freire adalah sebuah proses pembelajaran yang berupaya untuk melawan kenyataan yang membelenggu. Pemikiran kritis yang dimaksud oleh Freire adalah pemikiran yang bertujuan untuk membawa seseorang untuk berdialog dengan masa lalu, menyadari keberadaan dunia-dunia lain diluar yang dialaminya, dan membayangkan masa depan yang tidak semata-mata mereproduksi kondisi saat ini. 

Sumber:
  1. Tilaar dan Jimmy Ph Paat, 2011, Pedagogik Kritis, Jakarta: Rineka Cipta
  2. Soyomukti, Nurani, 2010, Teori-Teori Pendidikan, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media 
  3. Seifert, Kelvin, 2009, Manajemen Pembelajaran dan Instruksi Pendidikan, Jogjakarta: IRCiSoD 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar