Pendasaran
Teoritis Filsafat Untuk Anak
Mengapa filsafat itu penting untuk anak-anak? Anak-anak, pada dasarnya,
adalah filsuf alamiah. Artinya, mereka selalu menjadi seorang filsuf yang
mempertanyakan segala sesuatu, termasuk hal-hal yang sudah jelas bagi orang
dewasa. Seringkali, anak-anak menanyakan pertanyaan yang mengandung unsur
politis, metafisis bahkan etis. Jawaban atas pertanyaan tersebut membutuhkan
pemahaman tentang sejarah, politik dan metafisika yang cukup dalam. Anak-anak
sudah memiliki semacam intuisi filosofis yang sudah ada secara alamiah di dalam
dirinya. Berbagai penelitian, seperti dikutip oleh Maughn Gregory, menyatakan,
bahwa pemahaman dan gaya berpikir filsafat yang diberikan sejak usia dini dapat
meningkatkan kemampuan berbahasa (linguistik), kemampuan berhubungan dengan
orang lain (sosial), kemampuan untuk berhadapan dengan kegagalan (psikologis),
dan kemampuan untuk berpikir terbuka anak (ilmiah), sehingga ia bisa menerima
pelajaran dari luar dengan lebih cepat dan mendalam. Dengan keempat kemampuan
ini, anak pun bisa mengungkapkan perasaan dan pikirannya kepada orang lain
dengan lancar. Di Jerman, program “anak-anak berfilsafat” (Kinder Philosophieren) sudah dimulai sejak dekade
1960-an. Metode yang digunakan sebenarnya cukup sederhana, yakni perumusan
pertanyaan yang dibuat bersama-sama dengan anak (1), berdiskusi bersama anak,
guna menjawab pertanyaan ini (2), melihat beberapa kemungkinan jawaban yang
bersifat terbuka (3) dan mencoba menggali pertanyaan lebih jauh dari jawaban yang
telah ada (4).
Metode tersebut harus
juga memiliki roh. Ada dua roh yang ditawarkan di dalam filsafat untuk anak
ini, yakni roh kesetaraan dan roh keterbukaan. Artinya, hubungan antara guru
dan murid di dalam kelas haruslah merupakan hubungan kesetaraan. Tidak ada yang
lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Keduanya adalah partner untuk
berpikir dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada. Yang kedua
adalah keterbukaan. Setiap pertanyaan adalah sah. Setiap jawaban dilihat
sebagai kemungkinan. Tidak ada yang mutlak. Semuanya adalah proses yang menuju
pada hasil yang bisa dipertanyakan lagi kemudian. Roh kesetaraan dan
keterbukaan akan membuat suasana menjadi tenang dan menyenangkan. Pikiran pun
bisa berkembang di dalam dialog dengan orang lain. Pola ini tidak hanya
menyentuh bagian intelektual anak, tetapi juga sikap hidupnya yang nantinya
juga akan mengedepankan kesetaraan dan keterbukaan. Dua keutamaan ini amat
penting untuk kehidupan.
Dimana peran orang
dewasa di dalam proses ini? Orang dewasa disini, menurut Gregory, berperan
sebagai fasilitator sekaligus pengatur lalu lintas dari pertanyaan dan diskusi.
Orang ini harus mencintai dunia pemikiran. Ia harus sadar, bahwa ia tidak tahu
segalanya. Ia melihat dirinya sebagai pencari yang bekerja sama dengan
anak-anak, guna menemukan sudut pandang baru atas pertanyaan-pertanyaan lama.
Ia menjadi “contoh” dari bagaimana orang harus berfilsafat itu sendiri. Ia
memberikan contoh, bagaimana mengajukan pertanyaan yang baik. Ia juga menjadi
contoh, bagaimana mengajukan jawaban-jawaban yang bersifat terbuka, yang
merangsang pertanyaan berikutnya. Ia mengajarkan, bagaimana merumuskan sudut
pandang baru atas masalah-masalah lama. Ia memberikan kritik dan saran, tanpa
bersifat menjatuhkan atau menghina. Ia juga mampu menghubungkan berbagai aliran
ide yang ada, sehingga diskusi tidak berujung pada kebingungan. Ia menantang
jawaban-jawaban dangkal yang memberikan kepastian mutlak atas
pertanyaan-pertanyaan yang ada. Ia sendiri juga bersikap kritis pada pendapat-pendapatnya
sendiri.
Sang “fasilitator
filosofis” ini juga mampu menggoyang pemahaman-pemahaman lama yang ada dengan
pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik kemapanan. Ia juga tidak menilai, apakah
suatu pendapat salah atau benar. Ia hanya mempertanyakan segala pendapat yang
muncul di dalam diskusi dengan anak. Ia melihat anak sebagai manusia yang
bermartabat, yang layak untuk didengarkan dan ditanggapi secara seksama. Ia
juga mampu menggali unsur-unsur filosofis dari pendapat yang muncul. Yang
diharapkan adalah, supaya anak memahami pola berpikir filosofis yang
dicontohkan, dan menjadikan pola ini sebagai bagian dari diri mereka. Yang juga
harus diperhatikan adalah, bahwa “fasilitator filosofis” ini haruslah sebuah
tim yang terdiri dari orang-orang yang memiliki visi yang sama tentang kaitan
antara filsafat dan pendidikan. Program “anak-anak berfilsafat” ini haruslah
juga memiliki struktur, misalnya dilakukan oleh satu tim yang sama seminggu
sekali. Dibutuhkan kerja sama antara pihak sekolah dan pihak yang menawarkan
program ini. Di Jerman, beberapa institut memberikan pelatihan resmi dengan
sertifikat resmi untuk para fasilitator dari program ini, guna menjaga mutu
dari proses yang ditawarkan.
Pengalaman di Jerman, sebagaimana dituturkan Gregory, menunjukkan, bahwa
perjumpaan seminggu sekali dalam program filsafat untuk anak tidaklah cukup. Di
beberapa sekolah, misalnya, ditawarkan program filsafat untuk anak yang
dilakukan setelah pulang sekolah. Mereka menyebutnya sebagai “klub filsafat” (Philo-sophie-Clubs). Program ini banyak membantu
anak-anak yang merasa tertinggal dalam pelajaran di kelas. Mereka bisa
mengajukan pertanyaan dan menemukan sudut pandang berbeda melalui
diskusi-diskusi yang dilaksanakan. Tentu saja, program semacam ini tidaklah
cukup. Orang tua haruslah juga mampu merangsang pikiran anak melalui
percakapan-percakapan bermutu setiap harinya. Melalui diskusi-diskusi filsafat
yang bermutu, anak juga diajak untuk melampaui identitas sempitnya, dan mencoba
melihat dunia dari sudut pandang orang-orang yang memiliki latar belakang
berbeda. Pemahaman antar budaya, antar agama dan antar kelas sosial juga bisa
tercipta melalui program “anak-anak berfilsafat” ini. Di dalam proses diskusi
semacam ini, pemahaman agama juga dimurnikan melalui akal sehat dan empati
terhadap kelompok lain. Pola ini bisa dilihat sebagai upaya untuk melampaui
fundamentalisme dan fanatisme yang menjadi akar dari segala bentuk terorisme.
Di balik itu semua, kita bisa melihat, bahwa program ini adalah bagian dari
pendidikan nilai-nilai (Wertebildung) untuk
kehidupan.7Dalam arti ini, nilai bukan berarti nilai baik buruk seturut dengan agama
atau tradisi tertentu, melainkan kemampuan untuk secara masuk akal dan bebas
menentukan apa yang akan dilakukan pada sebuah keadaan tertentu yang bersifat
partikular. Dalam konteks masyarakat demokratis, seperti Indonesia dan Jerman,
tidak ada satu nilai homogen. Yang ada bukanlah “Nilai” dengan N besar,
melainkan “nilai-nilai”. Kita hidup dalam masyarakat yang memiliki beragam
kultur dengan beragam pandangan hidup serta nilai-nilai di dalamnya. Keadaan
ini memiliki setidaknya dua sisi. Di satu sisi, orang menemukan jalan yang
damai untuk mencapai kebahagiaan sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya. Di
sisi lain, orang dengan mudah terjatuh ke dalam relativisme, dimana tidak ada
lagi yang benar dan yang salah. Semua boleh dilakukan, asal sejalan dengan
keinginan dan kebutuhan pribadi. Di keadaan semacam ini, masyarakat sulit untuk
menemukan ikatan sosial yang menjadi dasar untuk solidaritas dan kesejahteraan
bersama.
Relativisme adalah
penolakan ekstrem terhadap kekakuan aturan dan moral yang sudah ada sebelumnya.
Namun, relativisme jelas memiliki masalahnya sendiri. Apapun yang ekstrem
selalu melahirkan masalah. Oleh karena itu, apapun bentuknya, ekstremisme
sedapat mungkin dihindari. Dalam konteks ini, relativisme yang lahir dari
proses berfilsafat haruslah disadari dan kemudian dibatasi. Ketika ia dibatasi,
yang muncul adalah paham pluralisme, bahwa ada banyak tolok ukur nilai yang
bisa digunakan, namun nilai-nilai tersebut tetap berlaku dalam konteksnya
masing-masing. Kata “konteks” menjadi sangat penting disini. Pemahaman yang
jeli tentang konteks yang ada melahirkan ketepatan dalam menilai dan bertindak.
Ini amat penting di dalam masyarakat plural yang memiliki tolok ukur nilai
berbeda-beda. Dalam arti ini, menurut Höffling, filsafat berperan sebagai
pendidikan nilai untuk anak-anak. Ia berdiri sekaligus menjembatani dua kutub.
Kutub pertama adalah indoktrinasi dalam bentuk penanaman nilai-nilai agama dan
tradisi yang dipaksakan, tanpa sikap kritis. Kutub yang kedua adalah
relativisme, dimana tidak ada tolok ukur nilai yang dipegang bersama, sehingga
semuanya boleh dilakukan, termasuk hal-hal yang merugikan orang lain.
Sumber:
Gregory, Maughn, “Was ist Philosophie für
Kinder?”, dalam Kinder Philosophieren, Hans Seidel Stiftung, 2007,
hal. 35-36.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar