Sebagai bagian dari pendidikan nilai, menurut Zeitler,
banyak orang meragukan peran filsafat untuk perkembangan pemikiran dan
nilai-nilai hidup anak. Filsafat memang dikenal sebagai pengetahuan yang
abstrak dan kering, yang kerap kali tidak memiliki hubungan langsung dengan
kehidupan manusia. Sulit membayangkan, bahwa pemahaman semacam ini memiliki
peran di dalam pendidikan nilai anak-anak. Bahkan, para professor filsafat di
berbagai perguruan tinggi, baik di Jerman maupun AS (mungkin juga di
Indonesia?), juga memiliki pendapat serupa. Dasarnya argumennya adalah, bahwa
anak-anak belum memiliki kemampuan berpikir yang cukup untuk mengembangkan
pendapat dan membangun penjelasan yang seringkali bersifat abstrak. Mereka juga
dianggap belum mampu menjaga jarak dari pikiran mereka sendiri, guna
mengembangkan sikap kritis terhadap dirinya sendiri. Apakah pendapat ini bisa
dibenarkan?
Zeitler berusaha menanggapi pendapat tersebut. Di
dalam penelitian yang ia lakukan, ia menemukan, bahwa anak-anak memiliki
kemampuan untuk mengajukan pendapat dan berpikir kritis. Dua kemampuan ini amat
penting di dalam proses berfilsafat. Mereka juga memiliki rasa ingin tahu yang
amat besar, yang amat berguna untuk menggali pemahaman lebih dalam tentang
suatu hal. Berpijak pada rasa ingin tahu itu, mereka lalu bertanya, mengajukan
kemungkinan jawaban, lalu membongkar jawaban tersebut dengan pertanyaan lebih
jauh. Proses diskusi filsafat bisa mempertajam rasa ingin tahu tersebut dan
meningkatkan kemampuan untuk menggali pemahaman melalui tanya jawab yang
berlangsung secara terbuka. Hasilnya adalah keterbukaan pikiran dan kesadaran
diri di dalam berhadapan dengan dunia yang semakin rumit. Dengan dua kemampuan
ini, anak diajak untuk belajar berpikir dan mengambil keputusan sendiri dengan berpijak
pada apa yang terjadi di dalam hidupnya. Ia tidak diperbudak oleh cara berpikir
dogmatis atau relativisme.
Program filsafat untuk anak-anak, dengan demikian,
berdiri di atas dua tegangan, yakni ketidakpercayaan masyarakat luas pada
kemampuan filsafat untuk mengembangkan pemikiran anak-anak, dan
penelitian-penelitian yang membuktikan, bahwa anak-anak sudah memiliki
kemampuan yang mencukupi untuk berpikir filosofis. Zeitler berpendapat, bahwa
filsafat tidak hanya bisa menjadi materi pendidikan anak, tetapi juga bisa
menjadi prinsip dasar pendidikan yang baru untuk anak-anak. Dengan metode ini,
anak diharapkan mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kesadaran
reflektif akan dirinya sendiri sejak dini. Ia juga akan memiliki keterbukaan
berpikir di dalam melihat dunia, serta membuat keputusan-keputusan penting
dalam hidupnya dengan pertimbangan-pertimbangan yang masuk akal. Semua
kemampuan ini amat penting untuk bisa hidup dan berkembang di dalam masyarakat
plural dan demokratis, seperti di banyak negara sekarang ini, seperti
Indonesia.
Di dalam masyarakat multikultur seperti Indonesia, ada
beragam pandangan hidup yang berkembang. Semuanya saling berhubungan satu sama
lain. Keterbukaan berpikir adalah salah satu nilai hidup yang penting untuk
dimiliki. Keadaan ini membuat hidup menjadi semakin kompleks. Orang tidak bisa
lagi begitu saja menyatakan, bahwa pandangan hidupnya lebih baik dan lebih
benar dari pandangan hidup lainnya. Dialog yang berpijak pada keterbukaan
berpikir menjadi hal yang perlu terus dilakukan secara berkelanjutan. Di sisi
lain, orang hidup dengan jutaan informasi yang ia terima melalui berbagai media
setiap harinya. Kondisi ini diebut Zeitler sebagai “masyarakat banjir
informasi” (Informationsflutsgesellschaft). Berbagai tayangan media
mengajarkan satu hal kepada banyak orang, bahwa di dalam hidup, ia perlu untuk
terus membeli barang-barang yang baru, supaya bisa bahagia. Di dalam keadaan
semacam ini, orang sulit untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan
reflektif atas hidupnya. Ia terbenam untuk bekerja, supaya bisa membeli lebih
banyak barang lagi, tanpa henti. Pada titik ini, yakni di dunia yang semakin
plural dalam hal tata nilai serta serbuan konsumtivisme dari berbagai penjuru
media yang mendangkalkan kemampuan berpikir orang, apa kiranya yang bisa
disumbangkan filsafat, terutama untuk pengembangan cara berpikir anak?
Untuk menjawab pertanyaan ini, menurut Zeitler, kita
perlu untuk menegaskan terlebih dahulu arti sesungguhnya dari filsafat. Pada
titik ini, filsafat dapat dipahami dengan dua cara. Yang pertama adalah melihat
filsafat sebagai cara pandang tertentu atas dunia. Ia menghasilkan teori untuk
menjelaskan dan memahami dunia tempat kita tinggal. Yang kedua adalah melihat
filsafat tidak sebagai teori untuk menjelaskan dunia, tetapi sebagai cara
hidup, yakni cara hidup yang mengedepankan pemikiran kritis dan reflektif atas
segala hal di dalam dunia. Walaupun memiliki rumusan yang berbeda, keduanya
memiliki akar yang sama, yakni rasa kagum dan rasa ingin tahu atas segala yang
ada di dunia. Dua hal itulah yang menjadi energi dari filsafat. “Berfilsafat,”
demikian tulis Zeitler, “dimulai dengan definisi dasar yakni kemampuan manusia
untuk merasa kagum dan heran atas dunia dan segala pertanyaan terkait dengan
makna, pendasaran dan lanjutannya.” Dengan kata lain, yang mendorong
lahirnya filsafat tidak hanya rasa kagum dan ingin tahu semata, tetapi juga
kemampuan untuk bernalar dan memberikan pendasaran atas apa yang dikatakan.
Kemampuan untuk memberikan pendasaran inilah yang menjadi ciri khas filsafat,
yang membedakannya dengan agama dan mistik. Dari gabungan antara rasa kagum,
rasa ingin tahu dan kemampuan bernalar untuk memberikan pendasaran atas
pemikiran ini, filsafat lalu lahir, berkembang dan mendorong lahirnya beragam
ilmu pengetahuan, seperti kita kenal sekarang ini.
Yang sudah pasti, anak-anak memiliki rasa kagum dan
ingin tahu yang besar atas segala hal yang ada di dunia. Mereka memiliki rasa
heran yang besar, yang mendorong mereka untuk menyentuh segala hal yang ada di
sekitar mereka. Dengan kata lain, bakat berfilsafat adalah bakat alamiah yang
dimiliki setiap anak, tanpa kecuali. Secara alamiah, anak juga memiliki
kecenderungan untuk mengajukan pertanyaan. Pertanyaan justru merupakan roh dari
filsafat dan ilmu pengetahuan. Pertanyaan adalah energi pendorong penelitian
dan refleksi filosofis. Dalam arti ini, proyek anak-anak berfilsafat (Kinder Philosophieren) juga dapat dipahami sebagai
usaha bersama untuk menjawab satu pertanyaan secara kritis, rasional dan reflektif.
Tidak ada jawaban pasti yang sudah diberikan sebelumnya. Tidak ada jawaban
final yang tidak bisa lagi dipertanyakan. Semuanya pertanyaan harus masuk ke
dalam diskusi yang kritis, reflektif dan rasional yang kemudian dibuka lagi
untuk pertanyaan lainnya. Proyek filsafat untuk anak-anak haruslah dilihat
sebagai undangan dan kesempatan untuk berpikir bersama (zum gemeinsamen Nachdenken). Ia lahir dari rasa ingin
tahu dan berakhir pada rasa ingin tahu yang lebih dalam. Orang tua dan
institusi sekolah maupun agama harus menunda semua jawaban pasti, dan
membiarkan anak masuk ke dalam proses berpikir bersama yang bersifat terbuka.
Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini masih
berpijak pada nilai ujian. Di dalam sistem ini, jawaban atas semua pertanyaan sudah
dirumuskan sebelumnya. Anak hanya perlu menghafal dan mengulang jawaban
tersebut di dalam kertas ujian yang disediakan. Dari proses ini, kemampuan
akademiknya diukur. Namun, sayangnya, proses semacam ini justru membunuh
kreativitas berpikir anak. Pertanyaan-pertanyaan asli yang menarik dan
merangsang kedalaman berpikir juga dibunuh. Akibatnya, kemampuan berpikir anak
menjadi tumpul. Ia mengalami kesulitan untuk merumuskan pertanyaan, berpikir
kritis, berpikir mandiri dan berpikir reflektif. Pendidikan di Indonesia pun
disempitkan hanya pada semata pemberian pengetahuan. Anak dianggap kertas
kosong yang kemudian diisi dengan berbagai macam informasi. Suasana semacam ini
ditambah dengan keadaan banjir informasi yang dialami masyarakat sekarang ini,
terutama dengan berkembangnya teknologi internet. Orang tak lagi mampu
membedakan secara kritis dan rasional, informasi mana yang benar dan informasi
yang merupakan gosip belaka. Padahal, tanpa kemampuan berpikir kritis, rasional
dan reflektif, orang, terutama anak-anak, gampang sekali terbawa oleh hasutan
bohong, dan kemudian dihasut. Kebohongan dan hasutan semacam ini lalu bisa
mendorong terjadinya ketegangan dan konflik di masyarakat. Pendidikan yang
hanya semata berfokus pada nilai ujian juga akan membunuh rasa tanggung jawab
moral yang lahir dari kebebasan pribadi manusia.
Yang ingin dicapai dengan proyek filsafat untuk anak,
menurut Zeitler, adalah pembentukan cara berpikir anak. Proyek ini tidak
mengajarkan anak, apa yang harus dipikirkan, melainkan metode untuk berpikir,
sehingga ia bisa sampai pada kesimpulan yang terbuka, kritis dan masuk akal.
Peran orang dewasa tentu sangat besar dalam hal ini. Tugas orang dewasa adalah
menciptakan suasana yang memungkinkan anak-anak untuk berfilsafat, guna
mengembangkan kemampuan dan kedalaman berpikirnya. Suasana ini harus diciptakan
tidak hanya di sekolah, baik sekolah dasar maupun taman kanak-kanak, tetapi
juga di dalam keluarga. Orang tua harus bekerja sama sepenuhnya dalam dialog
dengan guru di sekolah, maupun dengan orang-orang yang memiliki otoritas untuk
menentukan sistem pendidikan di Indonesia. Yang kedua, minat anak juga harus
dipahami sepenuhnya. Seperti disinggung sebelumnya, proyek filsafat untuk anak
tidak memberikan obyek untuk berpikir, melainkan metode untuk berpikir. Obyek
berpikirnya, dengan demikian, bisa ditentukan oleh anak itu sendiri. Anak yang
suka musik akan mudah untuk diajak berpikir filosofis tentang musik, karena itu
langsung terkait dengan minatnya. Oleh karena itu, orang tua dan guru harus
menyediakan waktu, kesabaran serta kesadaran untuk mendengar secara
sungguh-sungguh minat dan bakat anak.
Proses menarik minat anak untuk berfilsafat amatlah
penting. Hanya dengan adanya minat, filsafat bisa menjadi cara berpikir dan
bahkan cara hidup anak nantinya. “Ketika anak”, demikian tulis Zeitler,
“memiliki perasaan, bahwa pertanyaan-pertanyaanya penting dan dianggap serius,
maka budaya untuk berpikir bersama dan keinginan untuk mengajukan pertayaan
lebih jauh bisa dikembangkan.” Yang perlu diingat adalah, filsafat
merupakan upaya bersama untuk mencari jawaban atas berbagai pertanyaan yang ada
di dalam hidup manusia. Peran orang tua dan guru tentu juga harus dipikirkan
ulang. Dalam hal ini, seperti dinyatakan oleh Zeitler, figur Sokrates sebagai
bapak filsafat perlu diperhatikan. Sokrates bukanlah orang yang tahu segalanya.
Ia mengajak orang berpikir dan mempertanyakan hal-hal yang mereka anggap sudah
pasti. Ia melihat teman diskusinya sebagai orang yang setara, yang sama-sama
mencari jawaban. Dalam hal proyek filsafat untuk anak, anak juga harus dilihat
sebagai manusia yang setara, yang sama-sama mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang ada.
Seringkali, anak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
amat mendasar di dalam hidup. Misalnya, mengapa orang meninggal? Apakah ada
hidup setelah kematian? Mengapa kita harus bekerja? Mengapa kita dilahirkan,
dan sebagainya. Pada umumnya, orang dewasa sudah memiliki jawaban-jawaban
dangkal atas pertanyaan itu, misalnya mengacu pada tradisi atau agama tertentu.
Namun, dalam konteks filsafat, jawaban-jawaban dangkal semacam itu haruslah
dihindari. Di dalam berfilsafat, tidak ada jawaban baku yang tak bisa diganggu
gugat. Yang perlu dilakukan adalah mencoba mengajukan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut dari berbagai sudut pandang. Hal ini haruslah
dilakukan sebagai suatu proses yang berkelanjutan, dan tidak boleh jatuh pada
sikap dogmatis yang memberikan kepastian jawaban yang bersikap baku dan mutlak.
Dalam hal ini, anak diajak untuk mengalami langsung, bagaimana pengetahuan
berkembang (Erkenntnisfortschritt) melalui proses tanya jawab yang
bersifat kritis, rasional dan reflektif.
Inti dari proyek filsafat untuk anak-anak adalah
mengajak anak terlibat langsung di dalam proses dialog untuk menjawab berbagai
pertanyaan yang ada secara kreatif, rasional, kritis dan reflektif. Hal penting
disini adalah kemampuan dari proses dialog tersebut untuk merangsang anak untuk
berpikir lebih jauh dan lebih dalam tentang segala pertanyaan-pertanyaan yang
ia punya. Oleh karena itu, isi dari proses dialog haruslah sesuatu yang dekat
dengan kehidupan anak-anak. Setiap dialog dimulai dari pertanyaan, dan
pertanyaan-pertanyaan adalah pintu masuk ke dalam dunia filsafat dan ilmu
pengetahuan. Kecenderungan orang dewasa di dalam pendidikan adalah memaksa anak
untuk melakukan hal-hal yang tidak ada kaitan langsung dengan hidup mereka.
Proyek filsafat untuk anak-anak, dengan kata lain, harus dimulai dari
pertanyaan anak yang langsung terkait dengan dunia mereka. Ini adalah poin yang
amat penting. Proses terlibat di dalam dialog filosofis tentang suatu
pertanyaan akan membawa anak pada praksis hidup filosofis. Dalam arti ini,
filsafat tidak hanya sekedar menjadi teori untuk menjelaskan dunia, tetapi juga
menjadi sebentuk jalan hidup.
Dialog filosofis juga berpijak pada beberapa keadaan,
yakni adanya kesempatan yang besar untuk mengajukan pertanyaan (1), menjelaskan
suatu ide (2), menjernihkan suatu ide melalui proses dialog (3), memberikan
alasan atas suatu pendapat (4) dan mengajukan pertanyaan pada pendapat orang
lain (5). Dua hal yang penting disini, yakni kemampuan dan kemauan untuk
mendengarkan orang lain, serta sikap hormat satu sama lain di antara para
peserta dialog. Inilah yang disebut Zeitler sebagai “budaya dialog filosofis” (philosophische Gesprächkultur). Dengan proses ini, anak
dan juga orang dewasa yang terlibat di dalam dialog akan terbiasa untuk
memahami dan menanggapi konsep-konsep yang ada secara rasional dan analitis.
Mereka juga akan terlatih berpikir dengan berpijak pada rasa hormat dan
kemampuan untuk mendengarkan satu sama lain. Dengan kata lain, dua dimensi
langsung disentuh di dalam dialog semacam ini, yakni kemampuan intelektual dan
kepekaan moral. Dengan dua hal ini, anak lalu terlatih untuk membuat keputusan-keputusan
dalam hidupnya dengan berpijak pada akal budi dan moralitas. Secara alamiah,
anak memang memiliki rasa ingin tahu yang besar. Ini adalah modal yang besar
untuk berfilsafat. Namun, mereka juga terlebih dahulu belajar untuk secara
sistematis, kritis dan reflektif mengembangkan serta mengolah rasa ingin tahu
mereka. Inilah salah satu peran dari proyek filsafat untuk anak-anak.
Yang juga harus diperhatikan adalah, bahwa tidak semua
pertanyaan adalah pertanyaan filosofis yang bisa dibawa ke dalam dialog
filosofis. Ada pertanyaan yang bersifat faktual dengan jawaban yang sudah
jelas. Ada pertanyaan filosofis yang mengundang orang untuk berpikir lebih jauh
dengan jawaban-jawaban yang masih berupa kemungkinan. Pertanyaan filosofis
selalu mengundang rasa ingin tahu, baik untuk anak-anak, maupun orang dewasa.
Pertanyaan filosofis membutuhkan informasi sebagai dasar, tetapi kemudian
bergerak di ranah pendapat. Di ranah pendapat, orang mengalami perbedaan sudut
pandang. Namun, setiap sudut pandang harus memiliki pendasaran yang masuk akal,
yang bisa dimengerti oleh orang dari sudut pandang yang berbeda, walaupun
mereka tidak selalu harus setuju. Prinsip terpenting disini adalah, bahwa
setiap pertanyaan harus dihargai dan dianggap sebagai sesuatu yang serius. Ini
adalah langkah pertama yang amat penting di dalam dialog filosofis, terutama
dengan anak-anak. Dari langkah ini, proses berfilsafat lalu akan mengalir ke
tempat-tempat yang tak terduga sebelumnya. Ia akan membuka
kemungkinan-kemungkinan sudut pandang yang mungkin tak pernah terpikirkan
sebelumnya.
Sumber:
Zeitler, Katharina, “”Kinder
philosophieren”–ein integratives Modell zur Sinnorientierung und Wertebildung”, Kinder Philosophieren,
Hans Seidel Stiftung, 2007, hal. 45-52.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar